Di awal abad ke-20, Raden Adjeng Kartini, seorang pahlawan emansipasi wanita Indonesia, dikenal luas karena pemikirannya yang progresif dan surat-suratnya yang menggugah semangat untuk perubahan. Namun, di balik perjuangannya untuk pendidikan dan kesetaraan, ada kekuatan gelap yang mengintai. Ketika Kartini menikah dengan Bupati Rembang, Djojoadiningrat, ia mendapatkan dukungan penuh untuk mengembangkan pendidikan di Indonesia. Lebih jauh lagi, pernikahannya membawa perubahan besar dalam pemahamannya terhadap agama Islam, yang membuatnya menemukan pencerahan melalui Surat Al-Baqarah ayat 257—dari gelap menuju cahaya.
Namun, para elit Belanda yang tergabung dalam Freemason, yang semula simpatik terhadap Kartini, mulai khawatir dengan perubahan pandangannya. Mereka takut pemikiran Kartini yang cenderung mendalami Islam dapat menginspirasi perlawanan terhadap kolonialisme. Ditambah dengan rasa cemburu dari istri-istri lain Djojoadiningrat, konspirasi untuk menghentikan Kartini pun dimulai.
Dr. van Ravestyan, seorang anggota Freemason, disuruh untuk membungkam Kartini dengan cara yang licik dan kejam. Empat jam setelah Kartini melahirkan anaknya, Dr. van Ravestyan memberikan anggur yang telah diracuni. Kartini, yang sedang merayakan kelahiran anaknya, meminum anggur itu dan segera merasakan sakit yang hebat. Ia meninggal di pelukan suaminya, meninggalkan dunia yang penuh dengan impian dan harapan.
Di tengah kematiannya yang tragis, perjuangan Kartini tetap hidup. Sekolah yang ia dirikan terus berkembang, dan pemikirannya menginspirasi generasi-generasi berikutnya. Namun, misteri di balik kematiannya tetap menyelimuti, meninggalkan pertanyaan tentang siapa yang benar-benar bertanggung jawab atas pembunuhannya.
Racun untuk Kartini adalah sebuah kisah yang menggambarkan perjuangan, pengkhianatan, dan warisan abadi seorang wanita yang, meskipun dihadapkan pada konspirasi gelap, cahayanya tetap bersinar di hati rakyat Indonesia.
Penulis, tinggal di Singosari, kabupaten Malang