Di kerajaan yang telah ia rebut, sang Ratu kini hanya bisa menunggu titah rajanya yang baru. Dan aku tahu, apa pun yang ia perintahkan, aku akan menurut. (Bab: Fajar yang Berbeda)
***
Di lantai tertinggi sebuah menara perkantoran Sudirman, Anggi dan Devi adalah dua ratu yang tak terbantahkan. Dengan stiletto setajam lidah mereka dan ambisi sepanas kopi pagi, mereka menguasai dunia korporat yang kejam. Bagi mereka, David—rekan kerja junior yang canggung dan selalu menunduk—hanyalah sebuah hiburan. Seorang perjaka culun yang tatapannya kosong dan langkahnya ragu-ragu, target sempurna untuk permainan kekuasaan mereka yang kejam dan membosankan. Mereka menikmati setiap getar ketakutan di pundaknya, setiap rona merah di wajahnya, tidak pernah menyadari jenis api apa yang sebenarnya tertidur di balik penampilan pecundangnya.
Sebuah perjalanan bisnis ke Bandung seharusnya menjadi puncak dari permainan mereka. Terjebak dalam satu kamar hotel yang sama karena sebuah "kesalahan" yang disengaja, udara menjadi pekat oleh aroma alkohol dan superioritas yang memabukkan. Malam itu seharusnya menjadi panggung bagi Anggi dan Devi untuk menegaskan dominasi mereka, untuk menelanjangi David lapis demi lapis, bukan hanya pakaiannya, tapi juga sisa-sisa harga dirinya. Perintah-perintah kecil yang intim dilontarkan, tawa sinis menggema, semua adalah bagian dari skenario yang telah mereka tulis.
Namun, setiap permainan memiliki titik baliknya. Sebuah sentuhan yang diperintahkan berubah menjadi sengatan listrik yang tak terduga. Di tengah pijatan canggung itu, sebuah kekerasan yang tak diundang menekan paha sang ratu. Itu adalah momen di mana udara di dalam kamar berubah. Bukan hanya karena napas yang tertahan, tapi karena sepasang mata yang biasanya kosong itu kini balas menatap dengan kilat yang berbeda. Ketakutan telah menguap, digantikan oleh sesuatu yang lebih purba, lebih gelap, dan jauh lebih lapar.
Malam itu, monster yang mereka paksa bangun akhirnya meledak. Dinding kamar hotel menjadi saksi bisu bagaimana sangkar yang mereka bangun justru hancur dari dalam. Suara kain yang robek, desahan yang berubah dari paksaan menjadi pasrah, dan bayangan tiga tubuh yang terjalin dalam tarian liar hingga fajar. Bukan lagi permainan satu arah, tapi sebuah badai gairah di mana sang perjaka culun menunjukkan stamina iblis dan nafsu yang seolah tak akan pernah terpuaskan, menuntut setiap lubang, menaklukkan setiap inci tubuh kedua ratunya hingga mereka tak lagi bisa membedakan antara kenikmatan dan kehancuran.
Saat matahari pagi menyinari kekacauan di Kamar 712, sebuah tatanan baru telah lahir. Mahkota kedua ratu itu telah pecah berkeping-keping, tergeletak di lantai bersama harga diri mereka. Dan pria yang semalam mereka sebut pecundang, kini berdiri dengan tatapan tenang seorang pemilik. Permainan telah usai, dan ia telah menang. Tapi bagi mereka bertiga, ini bukanlah akhir. Ini adalah awal dari sebuah era di mana sang monster seks telah menemukan mainan barunya, dan ia sama sekali belum berniat untuk berhenti bermain.