"Aku merasa seperti sedang menemukan kembali sebuah ruangan di dalam rumah saya sendiri yang sudah lama terkunci dan berdebu. Dan ternyata, di dalam ruangan itu, ada taman yang indah." (Terapi untuk Dua Realitas)
***
Ada sebuah fantasi yang tersimpan di sudut paling gelap dan paling suci di benak seorang suami, sebuah katedral rahasia yang dibangun dari pilar-pilar kepercayaan absolut dan hasrat terlarang. Di altar katedral itu, ia tidak menyembah dewi-dewi asing, melainkan memuja istrinya sendiri dengan cara yang paling radikal. Ia tidak ingin menyembunyikannya dari dunia; sebaliknya, ia ingin mempersembahkannya. Baginya, kenikmatan tertinggi bukanlah saat ia menyentuh kulit yang telah begitu ia kenal, melainkan saat ia duduk di singgasananya sebagai penonton tunggal, menyaksikan mahakarya miliknya dikagumi, dipuja, dan dijelajahi oleh mata dan tangan yang lain. Ini bukanlah tentang kehilangan, melainkan tentang puncak kepemilikan: menikmati miliknya dinikmati.
Wanita itu, yang selama bertahun-tahun menjadi pelabuhan yang tenang dan akrab, kini didorong lembut menuju lautan lepas. Setiap keraguan di matanya adalah kilau perawan dari sebuah mutiara yang akan segera dibuka paksa cangkangnya. Setiap getar ketakutannya adalah sebuah nada minor yang membuat simfoni kenikmatan yang akan datang terasa lebih agung. Sang suami mengamatinya, melihat bagaimana tubuh yang biasa ia dekap dalam tidur, kini berdiri di bawah sorotan lampu, diubah dari properti privat menjadi sebuah pameran publik yang eksklusif. Ia melihat rasa malu istrinya perlahan terkikis, digantikan oleh aura kekuatan baru yang aneh, sebuah transformasi yang jauh lebih memabukkan daripada anggur termahal sekalipun.
Lalu, ritual itu pun dimulai. Pria lain itu mendekat, bukan sebagai seorang pencuri, melainkan sebagai seorang pemuja yang telah mendapatkan restu dari sang dewa. Setiap langkahnya adalah sebuah permohonan, setiap tatapannya adalah sebuah janji. Dan sang suami, dari singgasananya di sudut ruangan, memberikan izinnya dengan anggukan tak terlihat. Ia adalah sang fasilitator agung, sang mak comblang surgawi yang mengatur pertemuan dua benda langit. Ia tidak merasakan tusukan cemburu; yang ia rasakan adalah getaran kekuasaan seorang dalang yang melihat bonekanya menari dengan begitu indah di bawah kendali benang tak kasat mata yang ia pegang.
Saat sentuhan pertama terjadi, saat desahan pertama yang lirih namun begitu jelas terdengar, saat itulah sang suami mencapai nirwananya. Ia tidak perlu merasakan kulit bertemu kulit. Ia merasakan gema dari setiap sentuhan itu di dalam benaknya sendiri. Erangan istrinya, yang biasanya menjadi musik pengantar tidur mereka, kini menjadi sebuah opera yang dimainkan untuknya seorang. Punggungnya yang melengkung, jemarinya yang mencengkeram seprai, adalah sebuah tarian yang ia nikmati dari kejauhan. Gairahnya membara bukan karena apa yang ia lakukan, tapi karena apa yang sedang dilakukan pada istrinya. Ia memanen kenikmatan dari kebun orang lain, kebun yang ia tanami sendiri.
Namun, setiap puncak memiliki lembahnya. Setelah simfoni itu usai dan keheningan kembali merayap, sang suami menemukan dirinya sendirian di dalam katedralnya yang kini terasa dingin dan kosong. Sang dewi telah menemukan semesta baru di dalam dirinya, sebuah kemerdekaan yang tidak pernah ia duga. Sementara sang dewa, sang penonton agung, ditinggalkan hanya dengan sisa-sisa gairah yang memudar dan sebuah pertanyaan pahit yang baru lahir: dalam usahanya menikmati istrinya dinikmati, apakah ia secara tidak sadar telah mengajarkan istrinya cara untuk menikmati hidup tanpanya? Kenikmatan itu, ternyata, adalah sebuah pedang bermata dua yang indah sekaligus mematikan.