***
Dian adalah istri yang sempurna. Di balik dinding rumah mereka yang tenang di Depok, ia adalah surga bagi suaminya, Adi. Namun, di dalam keheningan rutinitas yang nyaman itu, sebuah bisikan asing mulai terdengar. Sebuah hasrat untuk dilihat, untuk dirayakan, bukan lagi hanya sebagai seorang istri, tetapi sebagai seorang wanita—sebuah mahakarya yang keindahannya mulai terlupakan, bahkan oleh dirinya sendiri.
Semuanya dimulai atas nama seni. Sebuah ide yang terdengar begitu modern dan berkelas. Sesi foto ulang tahun pernikahan untuk mengabadikan cinta mereka dalam sebuah kanvas abadi. Di bawah bimbingan seorang fotografer ternama dan dengan dukungan penuh dari atasan suaminya yang "bijak", pintu menuju dunia baru yang berkilauan itu pun terbuka. Mereka berjanji, ini bukan tentang nafsu. Ini tentang keindahan murni.
Di dalam studio yang remang-remang, di mana satu-satunya suara adalah detak jantung dan klik kamera, Dian menemukan panggungnya. Saat suaminya sendiri membeku kaku, seni menuntut adanya "figur" lain—seorang pria muda bernama Gilang, dengan tubuh sekeras pahatan dewa. Untuk pertama kalinya, Dian merasakan sentuhan yang bukan milik suaminya. Pelukan dari belakang yang seharusnya terasa asing, justru membakar kulitnya. Setiap arahan terasa seperti izin, dan setiap hembusan napas Gilang di lehernya adalah api yang menyulut hasrat yang telah lama tertidur.
Bagi seorang suami, ada neraka yang lebih dingin dari amarah; yaitu keheningan saat menjadi penonton. Adi dipaksa duduk di barisan terdepan, menjadi saksi kehormatan saat tubuh telanjang istrinya dipeluk oleh pria yang lebih muda dan lebih kuat. Ia melihat bagaimana "seni" menjadi dalih untuk setiap sentuhan terlarang, dan bagaimana gairah yang tak terbantahkan mulai menyala di mata Dian—sebuah gairah yang bukan lagi ditujukan untuknya.
Ketika batas antara kanvas dan kulit melebur, dan desahan menjadi bagian dari karya seni itu sendiri, pertanyaan mengerikan itu pun muncul. Apakah ini sebuah pembebasan jiwa, atau pengkhianatan terindah yang pernah dilukis? Di balik seni fotografi, ada hasrat seorang istri yang telah terbangun, dan kini ia menuntut untuk dipuaskan, tak peduli siapa yang harus terbakar dalam apinya.
***
Contents:
Pagi yang Biasa—1
Sebuah Keinginan Asing—17
Pintu yang Salah Telah Dibuka—35
Gema di Ruang Tengah—51
Di Bawah Tatapan Lensa—73
Badai yang Berbeda—95
Rasionalisasi Sang Bintang Baru—109
Penobatan Sang Bintang—123
Trofi di Telepon Genggam—149
Rumah yang Terasa Asing—161
Panggilan untuk Hasrat Murni—173
Panggilan Terakhir—195
Epilog di Atas Abu—209