Di antara heningnya Rinjani dan gemuruh kemarahan yang membekas selama puluhan tahun, lahirlah dua tokoh yang mungkin tak akan pernah dipertemukan oleh nasib biasa: Isabela Monteiro—seorang perempuan muda dari Brasil yang tampak seperti turis biasa, dan Amara Ferreira—anak dari sejarah yang dikubur dalam-dalam oleh kuasa dan kapital.
Novel ini sengaja ditulis dengan alur maju mundur, dengan potongan-potongan yang seolah tak berurutan, karena begitulah kebenaran sering muncul dalam hidup: bukan dari garis lurus, tetapi dari retakan-retakan waktu yang disembunyikan.
Saya ingin mengajak Anda untuk menelusuri bukan hanya jejak kaki di jalur pendakian Rinjani, tapi juga jejak luka, dendam, penyesalan, dan keberanian—yang menuntut bukan sekadar penyelesaian, tapi juga pengakuan. Sebab di dunia yang dikuasai narasi resmi, kebenaran kadang hanya bertahan dalam suara mereka yang berani tetap bicara, meski suaranya nyaris tenggelam.
Semoga kisah ini memberi kita satu hal:
Keyakinan bahwa kadang, untuk bangkit… kita harus terlebih dahulu jatuh. Dan bahwa dalam jurang terdalam pun, masih bisa tumbuh cahaya.
Selamat membaca.
— Penulis
Yoyok Rahayu Basuki adalah seorang penulis yang percaya bahwa setiap luka memiliki cerita, dan setiap cerita punya kekuatan untuk menyembuhkan.
Lahir dan besar di Indonesia, Yoyok telah mengukir namanya melalui karya-karya yang memadukan emosi manusia, sejarah tersembunyi, dan realitas sosial yang menggugah. Ia dikenal karena kemampuannya menyelami psikologi tokoh, membingkai konflik dalam lanskap yang puitis, dan menulis dengan gaya naratif yang sinematik namun tetap membumi.
Karya-karyanya, baik fiksi sejarah, misteri, maupun kritik sosial, selalu menampilkan sisi kemanusiaan yang mendalam—menyingkap kebenaran yang kerap dikaburkan oleh kekuasaan, tradisi, atau ketakutan.
"Petaka Rinjani" adalah satu dari sekian karya yang mencerminkan hasrat Yoyok dalam mengeksplorasi pertemuan antara trauma personal dan sistem yang lebih besar. Dalam novel ini, ia tidak hanya menuliskan kisah tentang pendakian gunung, tetapi juga pendakian batin—dari pengkhianatan, pencarian identitas, hingga keberanian untuk memutus rantai luka sejarah.
Selain menulis, Yoyok juga aktif sebagai narasumber, pembicara sastra, dan penggerak komunitas literasi. Ia meyakini bahwa kisah yang baik bukan hanya untuk dibaca, tetapi untuk direnungkan dan dibagikan—agar bisa jadi lentera bagi yang tersesat dalam gelap.