Nasi dan beberapa lauk sudah dihidangkan di meja makan. Aku dan Bi Tumini selalu bekerja sama soal menyiapkan makanan. Memasak pun selagi aku masih santai di rumah, pasti membantunya. Bagiku seorang asisten adalah orang yang paling berjasa pada keluarga kami.
โBi, buat air hangatnya. Saya kelupaan,โ pintaku pada Bi Tumini sembari merapikan gelas dan piring di meja.
โSudah saya buat, Bu. Tinggal makan, kok,โ sahutnya. Dia juga tak mau diam kalau sudah berada di dapur. Ada saja yang dilakukannya. Itulah yang membuat aku sulit untuk melepaskannya.
โBentar, saya panggil Bapak dulu.โ
Aku menuju pintu depan, lalu ke halaman dengan menuruni tiga anak tangga. Benar, Mas Gio masih saja berada di dalam mobil dan belum membuka pintunya.
Pintu kuketuk, kulihat Mas Gio tengah asyik merapikan mobil. Termasuk tisu, pewangi yang menempel, juga beberapa bantal yang ada di jok tempat biasa aku duduk.
โBuka, Mas.โ
โBuka apaan?!โ
โYa, buka pintunya lah, Mas. Masa ngurung terus di sini. Ngapain aja sih dari tadi nggak keluar-keluar?!โ
โBisa sabar nggak sih?! Bawel!โ
Buka, ih!โ
โBentar,โ sahutnya seraya memberi isyarat melalui tangan.
Ngapain sih Mas Gio? Merapikan benda begitu saja sampai setengah jam lamanya. Bagiku itu tidak penting-penting amat, tapi dia betah di dalam mobil.
โMas Cuma ngerapiin mobil?โ
โIya, Sayang. Mas nggak suka kalau barang-barang dalam mobil berantakan.โ
โTumben,โ gumamku.
โApa kamu bilang, Sayang?โ
โEnggak, kok. Yuk, masuk. Aku nungguin Mas dari tadi mau makan. Mas malah nggak nongol-nongol.โ
Sebelum memasuki rumah, aku mendengar suara ponsel di dalam mobil. Sementara kulihat Mas Gio memegang ponselnya di tangan sebelah kiri. Ah, mungkin suara itu bukan dari dalam mobil. Melainkan di rumah tetangga sebelah.
โMas, kok ada suara HP ya?โ
โMana ada. Kan, HP Mas ini.โ Dia menunjukkan ponselnya.
โTapi aku yakin itu suara HP, Mas. Apa Mas punya HP yang lain selain ini?โ
โEng-enggak, kok. Untuk apa coba HP banyak-banyak.โ
โTapi Mas, denger deh. Kayaknyaโโ
โSudahlah, Mona. Telinga kamu terlalu peka dengan hal yang tak terdengar. Jangan curiga sama Mas. Mas nggak suka!โ
Kenapa Mas Gio harus marah dan ketus bicara padaku kalau memang ucapanku tidak benar? Setelah melihat Mas Gio gelagapan, aku makin curiga.
Aku meminta Mas Gio kembali membuka pintu mobil untuk suara ponsel yang barusan kudengar. Apa mungkin Cuma aku yang mendengarnya? Mustahil sekali jika benar.
Tentu saja permintaanku ditolaknya. Dia meyakinkan aku kalau suara ponsel yang terdengar tadi adalah milik tetangga. Hatiku mulai tak enak lantaran wajah Mas Gio terlihat pucat dan cara bicaranya sedikit gugup.
Terpaksa mengabaikan Mas Gio karena perutku sudah sangat lapar.
Di meja makan. Mas Gio tampak gelisah. Piring yang sudah di depannya belum diisi nasi. Biasanya kalau sudah duduk, dia langsung mengambil nasi beserta lauknya.
โMas, makan dong. Katanya sudah lapar,โ ucapku.
โI-iya, Sayang. Mas makan, kok,โ jawabnya gelagapan.
โMas kenapa? Ada masalah di kantor?โ
โEnggak, kok. Nggak ada masalah.โ
Mas Gio mengambil nasi dan meletakkannya ke piring, tapi hanya sedikit. Tak biasanya Mas Gio dalam keadaan lapar mengambil nasi hanya sesendok saja. Kemudian memakannya tanpa menggunakan sayur dan ikan.
โMas kayak orang linglung aku tengok. Apa Mas sakit? Perasaan tadi baik-baik saja, kok,โ tegurku.
โEnggaak. Mas nggak sakit, kok,โ sahutnya dengan cepat.
โTapiโโ
โSsstt, sebaiknya kamu makan juga, Sayang. Jangan banyak nanya. Yuk, makan.โ
Mas Gio sedikit berbeda hari ini. Memang hari-hari sebelumnya juga ada perasaan aneh kulihat, tapi tak seaneh ini.
Tak sampai lima menit, Mas Gio sudah menghabiskan makanannya, lalu pergi ke arah ruang tamu dengan tergesa-gesa. Entah apa yang ingin dia lakukan dengan gerakan secepat itu.
โBi, Bibi yang ngerapiin semuanya, ya. Saya mau ke depan dulu,โ pesanku pada asisten.
โIya, Bu. Saya yang rapiin. Tinggal aja, Bu.โ
Setelah Bi Tumini merespon, aku langsung menuju ruang tamu untuk memastikan apa yang dilakukan Mas Gio di sana.
Tak ada sesiapa pun di ruangan tamu berukuran besar. Aku mencarinya ke kamar, siapa tahu Mas Gio tidur karena kekenyangan. Namun, dia juga tak ada di sana. Aku kembali keluar dan mencarinya ke beranda. Mungkin Mas Gio lagi menikmati angin sepoi-sepoi yang lumayan asyik.
Hasilnya tetap nihil. Aku melirik ke segala arah, tak juga terlihat. Tak lama seperti ada yang bergerak di dalam mobil. Ternyata Mas Gio ada di sana.
โMas! Mas!โ panggilku dengan nada tinggi agar suaraku terdengar.
Mas Gio menatapku dan keluar dari mobil.
Aku pun tak mau kalah. Langsung saja mendekat padanya untuk mengetahui apa yang dia lakukan.
โMas ngapain? Kok, kayaknya ada sesuatu di sini?โ
Aku yakin kalau pertanyaanku membuat dia gelagapan. Aku sendiri tak tahu apa yang dia rasakan. Hanya menebak saja.
โEnggaak. Mas nggak lagi ngapa-ngapain, kok. Kok, kamu sudah selesai makannya?โ
โMas itu kalau ditanya pasti jawabnya enggak-enggak terus. Kenapa, sih? Lagian aku makannya juga lebih lama aku daripada Mas. Eh, Mas malah di sini.โ
โUdah, yuk ke dalem. Mas Cuma mau mastiin. Apa kunci mobil benar-benar sudah diambil. Takut kalau nantinya Thea sama Phindie masuk ke mobil dan memutar kunci.
Aku percaya dengan ucapan Mas Gio, tapi dari firasatku, sepertinya ada sesuatu yang berbeda. Ah, aku tak boleh curiga pada suamiku. Apalagi harus berburuk sangka. Bisa-bisa apa yang dipikirkan terjadi pula nantinya.
***
Hari Minggu tepat di pagi hari pukul delapan. Ketika ingin memasak, aku membuka lemari es untuk memeriksa bahan-bahan. Beberapa diantaranya telah habis. Seperti biasa, aku ke pasar untuk belanja keperluan dapur. Bi Tumini tinggal mengolahnya saja untuk makan sehari-hari. Kalaupun ada yang kurang, dia pergi ke warung untuk membelinya.
Kebetulan mobil yang biasa kupakai baru saja dibawa pulang dari doorsmeer oleh pekerjanya. Aku ingin mengendarai mobil Mas Gio karena terlihat kotor.
โMas, pinjam mobilnya, dong.โ
Mas Gio masih saja menyibukkan dirinya menggeser layar ponsel. Sampai-sampai dia tidak mendengar apa yang kubilang.
โMas, Mas,โ panggilku sembari memegang bahunya agar merespon.
โApa, Sayang? Mas lagi fokus,โ sahutnya masih dengan menatap benda yang dari tadi menyita perhatiannya.
โAku mau ke pasar. Pinjem mobil, dong,โ ucapku.
โHa, apa?โ
โMas, aku pinjem mobilnya, ya. Mau belanja ke pasar sama Bi Tumini.โ
โOwh, Bi Tumini,โ jawabnya singkat.
โKok, jawabnya Bi Tumini? Ah, Mas ini gimana, sih?โ Aku jengkel melihat reaksi Mas Gio.
โApa tadi, Sayang?โ
โMas, tengok aku dulu.โ Wajahnya kuarahkan padaku dengan tangan.
โKamu tinggal bilang.โ
โBilang apa, Mas?โ
โYa, tadinya kamu bilang apa? Kurang jelas.โ
โKok, kurang jelas? Mas yang nggak jelas. Udah diulang-ulang, masih aja nanya ada apa. Mas ini nyebelin!โ
โOke, oke. Coba bilang sekali lagi. Mas pasti dengerin.โ
โMana kunci mobil? Aku mau ke pasar.โ Sembari menengadahkan tangan.
โNaek motor aja. Belanja aja pakai mobil. Mau di mana parkirnya nanti?โ
โMas, yang mau dibelanjakan banyak. Kalau naek motor, pasti nggak muat.โ
โPakai mobil kamu aja. Mobil Mas jorok.โ
โYa, Justru itu pakai mobil Mas. Mobil aku bersih banget. Sayang mau dipakai ke pasar.โ
โYa, udah. Yuk, Mas antar,โ ajaknya.
โMas lagi sibuk. Lagian aku sama Bi Tumini. Masa Mas mau ikut juga. Nanti bosen, bolak-balik nelepon aku. Males ah, didesak-desak. Akhirnya banyak yang kurang belanjaannya,โ keluhku.
Mas Gio tetap memaksakan dirinya untuk mengantarkan kami. Memang Mas Gio sering ikut saat aku dan Bi Tumini ke pasar, tapi harus dirayu dengan membutuhkan waktu. Kalau sudah melihat aku merajuk, barulah dia mau ikut mengantarkan.
โMas yang deluan masuk,โ pesan Mas Gio.
โLah, biasanya Mas nggak pernah bilang gitu. Kenapa, sih? Kok, Mas agak beda perasaan.โ
โBiar mengikuti sunnah, Sayang. Terlihat sopan dan menghormati suami,โ jawabnya.
Memang benar apa katanya, tapi tak seharusnya Mas Gio berubah sedrastis ini. Apa memang saat ini suamiku sedang menuju hijrah? Atau aku yang masih belum bisa menerima perubahan dari Mas Gio? Namun, setidaknya berlahan untuk bisa berubah.