Rasa sakit itu masih ada, tapi kini mulai bercampur dengan sensasi lain. Sensasi penuh, sesak, dan dalam... Setiap kali ia menghunjamkannya kembali, sebuah sengatan nikmat yang terlarang menjalari seluruh sarafku. - Bab 4: Sentuhan Pertama yang Membakar
Rasa bersalah adalah sebuah kemewahan yang tidak lagi kumiliki. Perasaan itu telah lama terkikis, digantikan oleh sesuatu yang jauh lebih purba dan kuat: kecanduan. Aku tidak lagi merasa seperti korban. Aku adalah seorang penagih, dan kontol Bapak Widodo adalah canduku. - Bab 8: Kecanduan yang Tak Terobati
“Bapak harus ikut kita, Mas. Siapa lagi yang akan merawat Bapak kalau kita pindah?... Aku yang akan merawat Bapak sampai tua.” - Bab 10: Miliknya, Selamanya
Ini bukan lagi neraka. Ini adalah surgaku, yang kubangun di atas kebohongan dan pengkhianatan. Dan aku adalah ratu di dalamnya. - Epilog: Pagi di Rumah Baru
Di sebuah rumah tenang di pinggiran Depok, Safitri adalah potret menantu dan istri yang sempurna. Senyumnya selalu tersungging untuk suaminya, Mario, dan tangannya dengan cekatan mengurus segala keperluan rumah tangga. Namun di balik kelembutan tatapannya, ada sebuah kekosongan yang tak terucap, sebuah hasrat yang tak pernah tersentuh oleh sentuhan suaminya yang hangat namun hambar. Dan di setiap sudut rumah itu, sepasang mata lain selalu mengawasi. Mata ayah mertuanya, Widodo, yang menatapnya bukan sebagai seorang anak, melainkan sebagai sebuah mangsa yang telah lama ia dambakan.
Kesunyian di siang hari bisa menjadi teman atau musuh. Bagi Safitri, itu adalah musuh yang membisikkan semua kekurangannya, mendorongnya pada sebuah tindakan rahasia di balik pintu kamar yang terkunci. Sebuah pelampiasan putus asa yang ia kira tak akan pernah diketahui siapa pun. Namun, dinding punya mata dan teknologi punya memori. Sebuah kelemahan kini telah terekam, menjadi kunci yang akan membuka pintu menuju dosa, sebuah senjata yang siap ditodongkan untuk menuntut penyerahan diri secara total.
Sentuhan pertama bukanlah sebuah belaian, melainkan sebuah klaim. Cengkeraman kasar di pinggulnya terasa menyakitkan, namun mengirimkan sengatan listrik ke bagian tubuhnya yang paling lapar. Di sanalah ia menemukan perbedaan yang mengerikan; antara cinta yang sopan dan nafsu yang brutal. Tubuhnya, si pengkhianat, memilih yang kedua. Ia belajar bahwa ada kenikmatan yang tersembunyi di dalam rasa sakit, dan ada surga yang bisa ditemukan di kedalaman neraka.
Perlahan, rasa takut dan malu terkikis, digantikan oleh kecanduan yang membakar. Rumah itu bukan lagi sekadar tempat tinggal, melainkan panggung rahasia mereka. Setiap sudutnya menjadi saksi bisu dari persetubuhan yang terlarang, setiap desahan disembunyikan dari telinga suami yang tak menaruh curiga. Ia bukan lagi korban yang pasrah, melainkan murid yang lihai, yang kini tahu cara meminta, bahkan menuntut, kenikmatan yang menjadi haknya.
Ketika impian suaminya tentang sebuah rumah baru yang lebih besar akhirnya terwujud, itu seharusnya menjadi akhir dari segalanya. Namun, bagi seorang pemain yang cerdik, itu hanyalah awal dari babak yang baru. Dengan satu syarat yang terdengar begitu mulia, ia tidak hanya mengamankan masa depannya, tapi juga mengikat sumber kenikmatan terlarangnya selamanya. Di dalam istana baru yang dibangun dari cinta buta suaminya, ia memastikan bahwa dosanya yang terindah akan selalu punya tempat untuk pulang.
Contents:
Pagi yang Sama, Hasrat yang Berbeda—1
Kesunyian di Siang Hari—15
Mata yang Mengawasi—31
Mata yang Mengawasi—45
Racun yang Terasa Nikmat—59
Di Bawah Kuasanya—71
Suami yang Tak Tahu Apa-apa—85
Kecanduan yang Tak Terobati—99
Rumah Baru, Ikatan Lama—113
Miliknya, Selamanya—125