Secangkir Kopi Jon Pakir

Mizan Publishing
4.5
6 เด…เดตเดฒเต‹เด•เดจเด™เตเด™เตพ
เด‡-เดฌเตเด•เตเด•เต
348
เดชเต‡เดœเตเด•เตพ
เดฑเต‡เดฑเตเดฑเดฟเด‚เด—เตเด•เดณเตเด‚ เดฑเดฟเดตเตเดฏเต‚เด•เดณเตเด‚ เดชเดฐเดฟเดถเต‹เดงเดฟเดšเตเดšเตเดฑเดชเตเดชเดฟเดšเตเดšเดคเดฒเตเดฒ ย เด•เต‚เดŸเตเดคเดฒเดฑเดฟเดฏเตเด•

เดˆ เด‡-เดฌเตเด•เตเด•เดฟเดจเต†เด•เตเด•เตเดฑเดฟเดšเตเดšเต

Ini kopi bukan sembarang kopi. Ini kopi bikinan koki bernama Jon Pakir alias โ€œJon yang Faqirโ€โ€”seorang pakar kondang asal Jombang yang piawai dalam meracik gagasan dan merakit kata-kata. Kali ini, si Jon ingin menghibur pembaca sekaligus menyajikan secangkir kopi yang mat-matan untuk dinikmati kapan dan di mana saja. Ada kopi โ€œModal untuk Pelitโ€, kopi โ€œAmenangi Zaman Jahiliahโ€, kopi โ€œJurnalisme Absolutโ€, kopi โ€œSyahadat Kiai Jangkungโ€, kopi โ€œSosiologi Munyukโ€, kopi โ€œFastabiqul Fulusโ€, dan kopi-kopi lain yang ditanggung lebih sip ketimbang kopi nasgithel (panas, legi, lan kenthel).


Dari sekitar seratus lima puluhan kopi yang tersaji dalam buku ini, sang koki mencoba membincangkan problem-problem masyarakat kelas bawah (dalam arti luas) yang banyak diobrolkan di gardu-gardu, di warung-warung, dan di tempat-tempat obrolan lain yang strategis. Lewat gaya tulis yang khas miliknya, sang koki kadang menjenakakan atau menyeriuskan topik-topik yang dibahasnya. Dan, ditambah dengan bahasanya yang sederhana, efisien, dan lugas, Secangkir Kopi Jon Pakir ini dapat โ€œdiminumโ€ oleh siapa saja.



Pengantar Penerbit

Ini adalah kopi, eh, buku keempat racikan Emha yang diterbitkan oleh Penerbit Mizan, Buku pertama, yang ditulis semasa โ€˜kabur kanginanโ€™ di Eropa sana, berjudul Dari Pojok Sejarah (1985)โ€”sebuah karya monumental baginya. Entah kapan lagi Emha dapat menulis โ€˜buku utuhโ€™ semacam itu. Buku kedua adalah Suluk Pesisiran (1989), sebuah karya (terjemahan) berat yang memperlihatkan ketekunan dan kepiawaiannya dalam menggeluti bidang langka dan pelikโ€”sastra sufi.* Buku ketiganya adalah Seribu Masjid, Satu Jumlahnya (1990), yang melaluinya, Emha mencatat tonggak penting sebagai perintis di bidangnya dalam melahirkan medium ungkap khas: โ€œproisiโ€ (campuran prosa dan puisi).


Buku keempat, yang berjudul Secangkir Kopi Jon Pakir ini, lagi-lagi membawa aroma baru dalam khazanah kekaryaan Emha. Tanpa bermaksud โ€˜mengesampingkanโ€™ karya-karyanya yang lain, baik yang berwujud puisi atau prosa (esai)**, dalam buku ini Emha tampak benar bergelut total dengan persoalan-persoalan hidup masyarakat kelas bawah, yang diungkapkan lewat โ€˜bahasa jelataโ€™โ€”sederhana (struktur-nya) dan jenaka (gayanya). Contohnya, dia tampak asyik sewaktu membincangkan โ€˜para caloโ€™ di terminal-terminal bis di setiap kota. Dia hafal betul karakter Terminal Pulogadung Jakartaโ€”yang disebutnya โ€œkiblat budaya terminal Indonesiaโ€ (h. 243)โ€”Pasar Metro Lampung, dan Joyoboyo Surabaya. Saking akrabnya dengan โ€˜budaya terminalโ€™, akhirnya dia mengaku bahwa terminal adalah โ€˜universitas paling jujurโ€™ baginya (h. 236).


Keterlibatannya yang intensโ€”yang, kadang, sampai membuatnya ketulo-tuloโ€”dengan persoalan-persoalan tersebutlah yang membesarkannya menjadi โ€˜tokohโ€™ unik sekaligus โ€˜tahan bantingโ€™ โ€ฆ. โ€œSaya adalah seorang pakar dalam menertawakan diri sendiri, sehingga terkadang saya menjadi masokis-komis yang rindu hantaman, rindu fitnah, rindu tantangan. Bahkan sering ada fitnah amat serius di koran kepada saya, saya ujo terus โ€ฆ,โ€ ujarnya (h. 331).


Kemudian, di samping itu, lewat buku ini kita juga akan bertemu dengan Emha yang โ€˜mengakrabiโ€™ ayat-ayat Allah. Dia tampak sangat berhati-hati dalam memasuki โ€˜medan pentingโ€™ tersebut. Dalam menanggapi sebuah kritik yang dilontarkan kepadanya, Emha bilang, โ€œโ€ฆ โ€˜tafsir senimanโ€™ itu tidak ada. Yang saya lakukan hanyalah tafsir seorang โ€˜abdullah yang masih terbata-bata. Jadinya, Anda terkadang membaca โ€˜tafsir najibiyahโ€™ yang thing blasur โ€ฆโ€ (h. 299). โ€œSo help me .โ€ฆ Kritiklah kapan saya keliru. Tapi juga perkenankan saya menjadi pengembara yang melacak ayat-ayat Allah yang tak hanya terdapat di Kitabullah, tapi juga di air sungai, di debu-debu galaksi, di ufuk-ufuk kejiwaan manusia, zaman, dan sejarah, serta di mana saja.โ€ (h. 299). Kita pantas menunggu kemunculan karya Emha dalam bidang tafsir ini.

Demikianlah, sedikit โ€œpemanisโ€ agar kopi, eh, buku ini dapat pembaca nikmati dengan enak. Selamat menikmati sajian Emha kali ini.


Bandung, Ramadhan 1412,

Hernowo


* Atauโ€”lebih tepatโ€”sastra suluk, yaitu sastra dalam bentuk tembang macapat yang berisi wejangan, baik melalui perlambang maupun dengan penjabaran, perihal mistik atau tasawuf.

** Lihat halaman 396 buku ini.


[Mizan, Mizan Publishing, Sosial, Essay, Emma Ainun Najib, Indonesia]

เดฑเต‡เดฑเตเดฑเดฟเด‚เด—เตเด•เดณเตเด‚ เดฑเดฟเดตเตเดฏเต‚เด•เดณเตเด‚

4.5
6 เดฑเดฟเดตเตเดฏเต‚เด•เตพ

เดฐเดšเดฏเดฟเดคเดพเดตเดฟเดจเต† เด•เตเดฑเดฟเดšเตเดšเต

EMHA AINUN NADJIB, lahir pada 27 Mei 1953 di Jombang, Jawa Timur. Pernah meguru di Pondok Pesantren Gontor, dan โ€œsinggahโ€ di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Emha Ainun Nadjib merupakan cendekiawan sekaligus budayawan yang piawai dalam menggagas dan menoreh katakata. Tulisan-tulisannya, baik esai, kolom, cerpen, dan puisi-puisinya banyak menghiasi pelbagai media cetak terkemuka. Pada 1980-an aktif mengikuti kegiatan kesenian internasional, seperti Lokakarya Teater di Filipina (1980); International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, AS (1984); Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984); serta Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman Barat (1985). Cukup banyak dari karya-karyanya, baik sajak maupun esai, yang telah dibukukan. Di antara sajak yang telah terbit, antara lain โ€œMโ€ Frustasi (1976), Sajak Sepanjang Jalan (1978), Syair Lautan Jilbab (1989), Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990), dan Cahaya Maha Cahaya (1991). Adapun kumpulan esainya yang telah diterbitkan oleh Bentang Pustaka, antara lain Arus Bawah (2014), Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (2015 dan 2018), Gelandangan di Kampung Sendiri (2015 dan 2018), Sedang Tuhan pun Cemburu (2015 dan 2018), 99 untuk Tuhanku (2015), Istriku Seribu (2015), Kagum kepada Orang Indonesia (2015), Orang Maiyah (2015) Titik Nadir Demokrasi (2016), Tidak. Jibril Tidak Pensiun! (2016), Daur I: Anak Asuh Bernama Indonesia (2017), Daur II: Iblis Tidak Butuh Pengikut (2017), Daur III: Mencari Buah Simalakama (2017), Daur IV: Kapal Nuh Abad 21 (2017), Kiai Hologram (2018), Pemimpin yang Tuhan (2018), Markesot Belajar Ngaji (2019), Siapa Sebenarnya Markesot? (2019), Sinau Bareng Markesot (2019), Lockdown 309 Tahun (2020), dan Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar (2020).ย 

เดˆ เด‡-เดฌเตเด•เตเด•เต เดฑเต‡เดฑเตเดฑเต เดšเต†เดฏเตเดฏเตเด•

เดจเดฟเด™เตเด™เดณเตเดŸเต† เด…เดญเดฟเดชเตเดฐเดพเดฏเด‚ เดžเด™เตเด™เดณเต† เด…เดฑเดฟเดฏเดฟเด•เตเด•เตเด•.

เดตเดพเดฏเดจเดพ เดตเดฟเดตเดฐเด™เตเด™เตพ

เดธเตโ€ŒเดฎเดพเตผเดŸเตเดŸเตเดซเต‹เดฃเตเด•เดณเตเด‚ เดŸเดพเดฌเตโ€Œเดฒเต†เดฑเตเดฑเตเด•เดณเตเด‚
Android, iPad/iPhone เดŽเดจเตเดจเดฟเดตเดฏเตเด•เตเด•เดพเดฏเดฟ Google Play เดฌเตเด•เตโ€Œเดธเต เด†เดชเตเดชเต เด‡เตปเดธเตโ€Œเดฑเตเดฑเดพเตพ เดšเต†เดฏเตเดฏเตเด•. เด‡เดคเต เดจเดฟเด™เตเด™เดณเตเดŸเต† เด…เด•เตเด•เต—เดฃเตเดŸเตเดฎเดพเดฏเดฟ เดธเตเดตเดฏเดฎเต‡เดต เดธเดฎเดจเตเดตเดฏเดฟเดชเตเดชเดฟเด•เตเด•เดชเตเดชเต†เดŸเตเด•เดฏเตเด‚, เดŽเดตเดฟเดŸเต† เด†เดฏเดฟเดฐเตเดจเตเดจเดพเดฒเตเด‚ เด“เตบเดฒเตˆเดจเดฟเตฝ เด…เดฒเตเดฒเต†เด™เตเด•เดฟเตฝ เด“เดซเตโ€Œเดฒเตˆเดจเดฟเตฝ เดตเดพเดฏเดฟเด•เตเด•เดพเตป เดจเดฟเด™เตเด™เดณเต† เด…เดจเตเดตเดฆเดฟเด•เตเด•เตเด•เดฏเตเด‚ เดšเต†เดฏเตเดฏเตเดจเตเดจเต.
เดฒเดพเดชเตเดŸเต‹เดชเตเดชเตเด•เดณเตเด‚ เด•เดฎเตเดชเตเดฏเต‚เดŸเตเดŸเดฑเตเด•เดณเตเด‚
Google Play-เดฏเดฟเตฝ เดจเดฟเดจเตเดจเต เดตเดพเด™เตเด™เดฟเดฏเดฟเดŸเตเดŸเตเดณเตเดณ เด“เดกเดฟเดฏเต‹ เดฌเตเด•เตเด•เตเด•เตพ เด•เดฎเตเดชเตเดฏเต‚เดŸเตเดŸเดฑเดฟเดจเตโ€เดฑเต† เดตเต†เดฌเต เดฌเตเดฐเต—เดธเตผ เด‰เดชเดฏเต‹เด—เดฟเดšเตเดšเตเด•เตŠเดฃเตเดŸเต เดตเดพเดฏเดฟเด•เตเด•เดพเดตเตเดจเตเดจเดคเดพเดฃเต.
เด‡-เดฑเต€เดกเดฑเตเด•เดณเตเด‚ เดฎเดฑเตเดฑเต เด‰เดชเด•เดฐเดฃเด™เตเด™เดณเตเด‚
Kobo เด‡-เดฑเต€เดกเดฑเตเด•เตพ เดชเต‹เดฒเตเดณเตเดณ เด‡-เด‡เด™เตเด•เต เด‰เดชเด•เดฐเดฃเด™เตเด™เดณเดฟเตฝ เดตเดพเดฏเดฟเด•เตเด•เดพเตป เด’เดฐเต เดซเดฏเตฝ เดกเต—เตบเดฒเต‹เดกเต เดšเต†เดฏเตเดคเต เด…เดคเต เดจเดฟเด™เตเด™เดณเตเดŸเต† เด‰เดชเด•เดฐเดฃเดคเตเดคเดฟเดฒเต‡เด•เตเด•เต เด•เตˆเดฎเดพเดฑเต‡เดฃเตเดŸเดคเตเดฃเตเดŸเต. เดชเดฟเดจเตเดคเตเดฃเดฏเตเดณเตเดณ เด‡-เดฑเต€เดกเดฑเตเด•เดณเดฟเดฒเต‡เด•เตเด•เต เดซเดฏเดฒเตเด•เตพ เด•เตˆเดฎเดพเดฑเดพเตป, เดธเดนเดพเดฏ เด•เต‡เดจเตเดฆเตเดฐเดคเตเดคเดฟเดฒเตเดณเตเดณ เดตเดฟเดถเดฆเดฎเดพเดฏ เดจเดฟเตผเดฆเตเดฆเต‡เดถเด™เตเด™เตพ เดซเต‹เดณเต‹ เดšเต†เดฏเตเดฏเตเด•.

Emha Ainun Najib เดŽเดจเตเดจ เดฐเดšเดฏเดฟเดคเดพเดตเดฟเดจเตเดฑเต† เด•เต‚เดŸเตเดคเตฝ เดชเตเดธเตโ€Œเดคเด•เด™เตเด™เตพ

เดธเดฎเดพเดจเดฎเดพเดฏ เด‡-เดฌเตเด•เตเด•เตเด•เตพ