Dari sekitar seratus lima puluhan kopi yang tersaji dalam buku ini, sang koki mencoba membincangkan problem-problem masyarakat kelas bawah (dalam arti luas) yang banyak diobrolkan di gardu-gardu, di warung-warung, dan di tempat-tempat obrolan lain yang strategis. Lewat gaya tulis yang khas miliknya, sang koki kadang menjenakakan atau menyeriuskan topik-topik yang dibahasnya. Dan, ditambah dengan bahasanya yang sederhana, efisien, dan lugas, Secangkir Kopi Jon Pakir ini dapat โdiminumโ oleh siapa saja.
Pengantar Penerbit
Ini adalah kopi, eh, buku keempat racikan Emha yang diterbitkan oleh Penerbit Mizan, Buku pertama, yang ditulis semasa โkabur kanginanโ di Eropa sana, berjudul Dari Pojok Sejarah (1985)โsebuah karya monumental baginya. Entah kapan lagi Emha dapat menulis โbuku utuhโ semacam itu. Buku kedua adalah Suluk Pesisiran (1989), sebuah karya (terjemahan) berat yang memperlihatkan ketekunan dan kepiawaiannya dalam menggeluti bidang langka dan pelikโsastra sufi.* Buku ketiganya adalah Seribu Masjid, Satu Jumlahnya (1990), yang melaluinya, Emha mencatat tonggak penting sebagai perintis di bidangnya dalam melahirkan medium ungkap khas: โproisiโ (campuran prosa dan puisi).
Buku keempat, yang berjudul Secangkir Kopi Jon Pakir ini, lagi-lagi membawa aroma baru dalam khazanah kekaryaan Emha. Tanpa bermaksud โmengesampingkanโ karya-karyanya yang lain, baik yang berwujud puisi atau prosa (esai)**, dalam buku ini Emha tampak benar bergelut total dengan persoalan-persoalan hidup masyarakat kelas bawah, yang diungkapkan lewat โbahasa jelataโโsederhana (struktur-nya) dan jenaka (gayanya). Contohnya, dia tampak asyik sewaktu membincangkan โpara caloโ di terminal-terminal bis di setiap kota. Dia hafal betul karakter Terminal Pulogadung Jakartaโyang disebutnya โkiblat budaya terminal Indonesiaโ (h. 243)โPasar Metro Lampung, dan Joyoboyo Surabaya. Saking akrabnya dengan โbudaya terminalโ, akhirnya dia mengaku bahwa terminal adalah โuniversitas paling jujurโ baginya (h. 236).
Keterlibatannya yang intensโyang, kadang, sampai membuatnya ketulo-tuloโdengan persoalan-persoalan tersebutlah yang membesarkannya menjadi โtokohโ unik sekaligus โtahan bantingโ โฆ. โSaya adalah seorang pakar dalam menertawakan diri sendiri, sehingga terkadang saya menjadi masokis-komis yang rindu hantaman, rindu fitnah, rindu tantangan. Bahkan sering ada fitnah amat serius di koran kepada saya, saya ujo terus โฆ,โ ujarnya (h. 331).
Kemudian, di samping itu, lewat buku ini kita juga akan bertemu dengan Emha yang โmengakrabiโ ayat-ayat Allah. Dia tampak sangat berhati-hati dalam memasuki โmedan pentingโ tersebut. Dalam menanggapi sebuah kritik yang dilontarkan kepadanya, Emha bilang, โโฆ โtafsir senimanโ itu tidak ada. Yang saya lakukan hanyalah tafsir seorang โabdullah yang masih terbata-bata. Jadinya, Anda terkadang membaca โtafsir najibiyahโ yang thing blasur โฆโ (h. 299). โSo help me .โฆ Kritiklah kapan saya keliru. Tapi juga perkenankan saya menjadi pengembara yang melacak ayat-ayat Allah yang tak hanya terdapat di Kitabullah, tapi juga di air sungai, di debu-debu galaksi, di ufuk-ufuk kejiwaan manusia, zaman, dan sejarah, serta di mana saja.โ (h. 299). Kita pantas menunggu kemunculan karya Emha dalam bidang tafsir ini.
Demikianlah, sedikit โpemanisโ agar kopi, eh, buku ini dapat pembaca nikmati dengan enak. Selamat menikmati sajian Emha kali ini.
Bandung, Ramadhan 1412,
Hernowo
* Atauโlebih tepatโsastra suluk, yaitu sastra dalam bentuk tembang macapat yang berisi wejangan, baik melalui perlambang maupun dengan penjabaran, perihal mistik atau tasawuf.
** Lihat halaman 396 buku ini.
[Mizan, Mizan Publishing, Sosial, Essay, Emma Ainun Najib, Indonesia]
EMHA AINUN NADJIB, lahir pada 27 Mei 1953 di Jombang, Jawa Timur. Pernah meguru di Pondok Pesantren Gontor, dan โsinggahโ di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Emha Ainun Nadjib merupakan cendekiawan sekaligus budayawan yang piawai dalam menggagas dan menoreh katakata. Tulisan-tulisannya, baik esai, kolom, cerpen, dan puisi-puisinya banyak menghiasi pelbagai media cetak terkemuka. Pada 1980-an aktif mengikuti kegiatan kesenian internasional, seperti Lokakarya Teater di Filipina (1980); International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, AS (1984); Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984); serta Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman Barat (1985). Cukup banyak dari karya-karyanya, baik sajak maupun esai, yang telah dibukukan. Di antara sajak yang telah terbit, antara lain โMโ Frustasi (1976), Sajak Sepanjang Jalan (1978), Syair Lautan Jilbab (1989), Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990), dan Cahaya Maha Cahaya (1991). Adapun kumpulan esainya yang telah diterbitkan oleh Bentang Pustaka, antara lain Arus Bawah (2014), Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (2015 dan 2018), Gelandangan di Kampung Sendiri (2015 dan 2018), Sedang Tuhan pun Cemburu (2015 dan 2018), 99 untuk Tuhanku (2015), Istriku Seribu (2015), Kagum kepada Orang Indonesia (2015), Orang Maiyah (2015) Titik Nadir Demokrasi (2016), Tidak. Jibril Tidak Pensiun! (2016), Daur I: Anak Asuh Bernama Indonesia (2017), Daur II: Iblis Tidak Butuh Pengikut (2017), Daur III: Mencari Buah Simalakama (2017), Daur IV: Kapal Nuh Abad 21 (2017), Kiai Hologram (2018), Pemimpin yang Tuhan (2018), Markesot Belajar Ngaji (2019), Siapa Sebenarnya Markesot? (2019), Sinau Bareng Markesot (2019), Lockdown 309 Tahun (2020), dan Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar (2020).ย