Mas Bima hanya tersenyum saat badannya kubersihkan. Tampak bibirnya ingin bergerak namun tak bisa.
"Apa Mas? Badannya segar ya?"
Mas Bima tak menjawab, hanya gerakan bulu matanya yang mengisyaratkan bahwa ia setuju dengan ucapanku.
Kupakaikan baju yang bersih juga harum agar ia bisa kembali tidur dengan nyaman. Setelah baju kupaikan, tak lupa kusisir rambut bagaian depan agar terlihat rapi. Meskipun ia hanya tidur di atas ranjang tanpa bisa kemanapun, aku tetap memperhatikan penampilannya.
"Bu, sudah selesai mandikan ayah?" tanya Danisa, putriku.
"Kenapa, Mbak?" tanyaku balik tanpa menghadap wajahnya, karena aku sedang merapikan nakas di samping ranjang tempat ayahnya berbaring.
"Adik buang air besar."
"Iya, tunggu sebentar."
Segera kuselesaikan aktivitasku di dalam kamar tidur suamiku yang sedang terkena stroke ini. Suami yang menikahiku sepuluh tahun lalu setelah berjuang meyakinkan orang tuaku bahwa ia mampu memberikan kebahagiaan. Kini ia terbaring lemah tak berdaya setelah tiba-tiba tak sadarkan diri enam bulan yang lalu.
Cinta yang besar membuatku sanggup bertahan untuk merawatnya. Cinta juga yang membuatku bertahan disisinya untuk membantunya berjuang meraih kesembuhan. Menelan segala pil pahit kehidupan seorang diri demi menjaga keutuhan keluarga kami.
"Dek Rani sudah ee'nya?" tanya Danisa yang terdengar hingga luar kamar mandi.
"Udah Mbak," jawab si bungsu.
"Buuu, ini adek sudah selesai," teriak Danisa memanggilku.
"Iya, Mbak, nggak usah teriak nanti ayah kebangun." Kuhampiri Rani dalam kamar mandi dan kubantu untuk membersihkan kotorannya.
"Ibu sudah mandiin ayahnya?" tanya Rani saat aku sudah berada di depannya.