Bukti CCTV yang telah diproses ulang itu digunakan untuk menganalisis gerak-gerik Jessica Wongso. Alih-alih menjadi bukti objektif yang dapat diandalkan, video itu sudah kehilangan integritas teknisnya karena mengalami downscaling, kompresi ulang, dan potensi kehilangan metadata asli. Setiap rekayasa semacam itu menimbulkan kerusakan pada nilai probatif bukti digital. Ketika video tersebut dipakai sebagai dasar analisa oleh saksi fakta maupun ahli, maka hasil kesimpulan yang diambil sudah tercemar sejak awal.
Dalam ranah psikologi forensik, video yang sudah direkayasa kemudian dipakai untuk mendeskripsikan perilaku nonverbal Jessica. Psikolog yang dihadirkan di persidangan dituntut memberikan penjelasan mengenai ekspresi, bahasa tubuh, hingga interpretasi niat. Namun karena bahan analisis berupa video rekayasa, interpretasi tersebut berpotensi bias dan tidak akurat. Gerakan kecil yang kabur atau tidak presisi akibat proses downscaling bisa saja ditafsirkan sebagai tanda perilaku menyimpang, padahal bisa jadi itu hanyalah artefak teknis dari rekaman yang diproses ulang.
Seorang kriminolog yang dihadirkan di persidangan juga terjebak dengan rekaman rekayasa ini. Tugas kriminolog adalah menjelaskan pola perilaku dan kemungkinan motivasi pelaku. Namun, ketika dasar pengamatannya sudah cacat, maka seluruh analisis kriminal yang muncul juga ikut cacat. Apa yang terlihat sebagai "gelagat mencurigakan" dalam rekaman bisa jadi hanyalah hasil distorsi teknis video. Di sinilah bahaya utama manipulasi barang bukti digital, karena ia melahirkan narasi kriminal yang dibangun di atas data yang tidak sahih.
Dari perspektif ahli hukum pidana, rekaman tersebut dijadikan alat bukti untuk membangun konstruksi hukum mengenai keterlibatan terdakwa. Padahal, hukum pidana mengenal prinsip bahwa alat bukti harus sahih, relevan, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ketika rekaman itu diproses dengan perangkat lunak yang bukan bagian dari sistem DVR asli, integritas barang bukti telah terputus. Namun, alih-alih ditolak, rekaman itu justru dipakai sebagai senjata utama untuk mengkriminalkan Jessica.
Pihak jaksa pun menjadikan video rekayasa tersebut sebagai salah satu dasar dakwaan. Sebagai pengendali perkara, jaksa memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa setiap bukti yang diajukan benar-benar memiliki integritas. Namun dalam kasus ini, tampaknya proses verifikasi integritas bukti diabaikan. Jaksa hanya berfokus pada narasi yang mendukung teori keterlibatan terdakwa, tanpa memperhitungkan potensi cacat teknis yang melemahkan nilai pembuktian. Dengan begitu, rekayasa video tidak hanya merusak aspek teknis, melainkan juga memengaruhi substansi dakwaan.
Dalam ranah toksikologi, ahli yang dihadirkan lebih banyak membicarakan soal zat sianida dan dampaknya. Namun tidak bisa diabaikan bahwa penempatan ahli toksikologi dalam persidangan juga bertumpu pada asumsi perbuatan terdakwa yang sebagian "dibuktikan" lewat video. Artinya, meskipun secara teknis toksikologi tidak langsung terkait video, tetapi konstruksi perbuatan yang dituduhkan tetap disokong oleh analisa rekaman yang bermasalah. Ini menimbulkan kesan bahwa seluruh rangkaian bukti saling mendukung, padahal salah satunya sudah cacat integritas.
Hakim sebagai pengambil keputusan terakhir juga memanfaatkan rekaman CCTV itu dalam pertimbangannya. Para hakim, termasuk ketua majelis, menjadikan rekaman tersebut sebagai bukti visual yang memperkuat keyakinan mengenai keterlibatan terdakwa. Padahal, jika dilakukan uji keaslian bukti digital sesuai standar ISO/IEC 27037 dan panduan NIST, seharusnya rekaman itu ditolak karena tidak lagi mencerminkan kondisi asli. Kesalahan fatal ini menyebabkan putusan yang dijatuhkan kehilangan pijakan objektif.
Kapolda saat itu, Tito Karnavian, dan Dirreskrimum Polda Metro Jaya, Krishna Murti, memegang kendali atas penyidikan. Dengan posisi strategis mereka, pengawasan terhadap penggunaan barang bukti digital seharusnya dilakukan secara ketat. Namun, penggunaan eRightSoft dan Freemake justru dilegalkan sebagai bagian dari proses penyidikan. Hal ini menunjukkan adanya kelemahan sistemik dalam kontrol internal kepolisian terhadap integritas bukti digital.
Manipulasi bukti digital semacam ini berimplikasi luas. Dari sisi yuridis, ia menodai asas peradilan yang adil (fair trial). Seorang terdakwa seharusnya diadili berdasarkan bukti yang sahih dan dapat diverifikasi keasliannya. Ketika bukti utama berupa rekaman video telah dimanipulasi, maka seluruh rangkaian peradilan berubah menjadi proses kriminalisasi.
Dampaknya juga dirasakan dari sisi akademis. Kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana ilmu pengetahuan bisa disalahgunakan. Forensik digital yang seharusnya menjaga kebenaran justru dipakai untuk merekayasa kebenaran. Psikologi, kriminologi, hukum pidana, toksikologi, dan hukum acara yang seharusnya independen, akhirnya dipaksa masuk ke dalam kerangka narasi yang dibangun dari bukti cacat.
Lebih jauh, kasus ini menciptakan preseden buruk bagi masyarakat. Publik belajar bahwa bukti digital bisa direkayasa oleh pihak berwenang dan tetap dipakai untuk memidana seseorang. Hal ini berpotensi menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan pidana. Kepercayaan publik adalah fondasi legitimasi hukum, dan jika ia runtuh, maka seluruh struktur hukum bisa kehilangan wibawa.
Dalam tataran teknis, penggunaan software seperti eRightSoft dan Freemake jelas bertentangan dengan prinsip chain of custody. Bukti digital harus dijaga dalam bentuk aslinya dengan metode forensik yang tervalidasi. Menggunakan perangkat lunak komersial berbasis Windows untuk memproses video dari DVR berbasis Linux Embedded adalah bentuk pelanggaran prosedural. Pelanggaran ini seharusnya cukup menjadi alasan kuat bagi pengadilan untuk menolak bukti tersebut.
Namun, bukti itu tetap diterima. Ini menandakan bahwa pengadilan saat itu tidak menguasai prinsip dasar digital forensics. Hakim tampak lebih terpesona pada narasi visual rekaman ketimbang memahami apakah rekaman itu sahih. Di sinilah letak masalah besar: keadilan dikorbankan karena ketidaktahuan teknis.
Rekayasa video juga merugikan terdakwa dari sisi psikologis. Bayangkan bagaimana seorang terdakwa melihat dirinya digambarkan dengan cara yang tidak sesuai realita. Gerakan yang kabur atau diperlambat bisa ditafsirkan sebagai tanda bersalah. Terdakwa terperangkap dalam narasi visual yang sudah dikendalikan oleh pihak lain.
Selain itu, rekayasa video juga membuat saksi fakta lain kehilangan posisi netral. Saksi mata yang hadir di persidangan tidak bisa membantah rekaman, karena video dianggap "lebih objektif". Padahal, video yang ditampilkan bukan lagi representasi objektif dari kenyataan. Akibatnya, keterangan saksi mata tersubordinasi oleh bukti rekayasa.
Dalam dunia akademik, kasus ini sering menjadi contoh tentang pentingnya integritas digital evidence. Mahasiswa hukum, kriminologi, dan forensik bisa belajar bahwa tanpa pengawasan ketat, bukti digital mudah sekali direkayasa. Rekayasa ini bahkan bisa dilakukan dengan software gratis atau komersial yang banyak beredar di internet, sehingga potensi penyalahgunaannya sangat tinggi.
Secara politis, kasus ini juga menimbulkan pertanyaan tentang independensi kepolisian. Ketika bukti digital yang bermasalah dilegalkan oleh penyidik, publik bertanya apakah proses penyidikan benar-benar netral atau justru diarahkan untuk memenuhi target tertentu. Pertanyaan ini menimbulkan erosi kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.
Bagi aparat penegak hukum, kasus ini seharusnya menjadi pelajaran berharga. Integritas bukti digital tidak bisa ditawar-tawar. Begitu bukti diproses ulang dengan metode tidak sah, maka nilai pembuktiannya otomatis jatuh. Namun kenyataannya, prinsip ini diabaikan, dan akibatnya seorang terdakwa kehilangan haknya untuk mendapatkan peradilan yang adil.
Dalam literatur internasional, terdapat standar ISO dan panduan NIST yang jelas tentang bagaimana bukti digital harus ditangani. Tidak ada satu pun standar yang memperbolehkan penggunaan software umum untuk memproses bukti asli tanpa dokumentasi lengkap. Fakta bahwa hal ini terjadi dalam kasus Jessica Wongso menunjukkan betapa jauhnya praktik di lapangan dari teori ideal.
Lebih menyedihkan lagi, praktik rekayasa bukti ini tidak berhenti pada aspek teknis, melainkan merembet ke seluruh ekosistem peradilan. Dari penyidik, ahli forensik, jaksa, ahli psikologi, kriminolog, hingga hakim, semua terlibat dalam lingkaran yang mengandalkan bukti cacat. Sistem hukum yang seharusnya melindungi justru berubah menjadi instrumen penindasan.
Jessica Wongso akhirnya dijatuhi vonis panjang. Namun pertanyaannya, apakah vonis itu benar-benar didasarkan pada kebenaran? Jika bukti utama berupa rekaman video sudah dimanipulasi, maka vonis tersebut setidaknya patut dipertanyakan. Sayangnya, ruang untuk mempertanyakan hal ini di pengadilan sangat terbatas.
Ketika hakim memutuskan perkara berdasarkan bukti rekayasa, maka prinsip keadilan substantif sudah dikhianati. Hakim seharusnya menjadi benteng terakhir untuk melindungi terdakwa dari kesalahan penyidikan dan penuntutan. Namun, dalam kasus ini, hakim justru ikut memperkuat kesalahan dengan menerima bukti cacat.
Dari perspektif integritas hukum, kasus ini menjadi noda yang sulit dihapus. Ia menunjukkan bahwa sistem hukum bisa runtuh hanya karena satu aspek teknis: integritas bukti digital. Ketika aspek ini diabaikan, maka seluruh struktur hukum kehilangan fondasinya.
Secara sosial, masyarakat juga ikut terdampak. Banyak orang mempercayai video rekayasa itu sebagai kebenaran mutlak, tanpa menyadari bahwa rekaman tersebut tidak sahih. Kepercayaan masyarakat terhadap apa yang mereka lihat di layar dijadikan instrumen untuk mengarahkan opini publik. Dengan demikian, rekayasa bukti digital tidak hanya memengaruhi pengadilan, tetapi juga memengaruhi persepsi publik.
Lebih jauh, kasus ini menjadi peringatan bahwa di era digital, rekayasa bukti bisa dilakukan dengan mudah dan cepat. Namun dampaknya luar biasa: satu rekayasa bisa mengubah hidup seseorang, bahkan menghancurkan masa depan terdakwa. Dampak sosial, psikologis, dan hukum dari rekayasa bukti digital sungguh mengerikan.
Akhirnya, kasus ini menegaskan satu hal penting: integritas bukti digital adalah harga mati. Sekali ia direkayasa, maka seluruh proses hukum menjadi cacat. Jessica Wongso hanyalah satu contoh nyata dari bagaimana rekayasa bukti digital bisa mengorbankan seseorang. Sistem hukum seharusnya belajar dari kasus ini agar ke depan, tidak ada lagi orang yang dikriminalisasi karena bukti palsu yang disamarkan sebagai bukti sah.
Rismon Hasiholan Sianipar, born in Pematang Siantar in 1994, is a distinguished researcher and expert in the field of electrical engineering. After completing his education at SMAN 3 Pematang Siantar, Rismon ventured to the city of Jogjakarta to pursue his academic journey. He obtained his Bachelor of Engineering (S.T) and Master of Engineering (M.T) degrees in Electrical Engineering from Gadjah Mada University in 1998 and 2001, respectively, under the guidance of esteemed professors, Dr. Adhi Soesanto and Dr. Thomas Sri Widodo. During his studies, Rismon focused on researching non-stationary signals and their energy analysis using time-frequency maps. He explored the dynamic nature of signal energy distribution on time-frequency maps and developed innovative techniques using discrete wavelet transformations to design non-linear filters for data pattern analysis. His research showcased the application of these techniques in various fields. In recognition of his academic prowess, Rismon was awarded the prestigious Monbukagakusho scholarship by the Japanese Government in 2003. He went on to pursue his Master of Engineering (M.Eng) and Doctor of Engineering (Dr.Eng) degrees at Yamaguchi University, supervised by Prof. Dr. Hidetoshi Miike. Rismon's master's and doctoral theses revolved around combining the SR-FHN (Stochastic Resonance Fitzhugh-Nagumo) filter strength with the cryptosystem ECC (elliptic curve cryptography) 4096-bit. This innovative approach effectively suppressed noise in digital images and videos while ensuring their authenticity. Rismon's research findings have been published in renowned international scientific journals, and his patents have been officially registered in Japan. Notably, one of his patents, with registration number 2008-009549, gained recognition. He actively collaborates with several universities and research institutions in Japan, specializing in cryptography, cryptanalysis, and digital forensics, particularly in the areas of audio, image, and video analysis. With a passion for knowledge sharing, Rismon has authored numerous national and international scientific articles and authored several national books. He has also actively participated in workshops related to cryptography, cryptanalysis, digital watermarking, and digital forensics. During these workshops, Rismon has assisted Prof. Hidetoshi Miike in developing applications related to digital image and video processing, steganography, cryptography, watermarking, and more, which serve as valuable training materials. Rismon's field of interest encompasses multimedia security, signal processing, digital image and video analysis, cryptography, digital communication, digital forensics, and data compression. He continues to advance his research by developing applications using programming languages such as Python, MATLAB, C++, C, VB.NET, C#.NET, R, and Java. These applications serve both research and commercial purposes, further contributing to the advancement of signal and image analysis. Rismon Hasiholan Sianipar is a dedicated researcher and expert in the field of electrical engineering, particularly in the areas of signal processing, cryptography, and digital forensics. His academic achievements, patented inventions, and extensive publications demonstrate his commitment to advancing knowledge in these fields. Rismon's contributions to academia and his collaborations with prestigious institutions in Japan have solidified his position as a respected figure in the scientific community. Through his ongoing research and development of innovative applications, Rismon continues to make significant contributions to the field of electrical engineering.