Melalui jendela kamar di sisi ranjang, aku memandang pekatnya langit dengan perasaan sengit. Ada sesuatu yang harus keluar dari kepala. Ada perasaan yang harus diungkapkan. Aku tak tahu apakah orang lain memahami yang kini kualami? Kepalaku seperti New York malam ini! Terus menderu tak kenal henti. Rasanya cemas, takut, sekaligus tertarik. Ya, ada sebuah mimpi lama terkubur jauh di dasar jiwa. Tentang luka dan irisan perasaan yang mengalir dalam nadiku. Otak ini menyuruhku maju tapi hati berkata cukup sampai di sini.
Melalui jendela kamar di sisi ranjang, aku memandang pekatnya langit dengan perasaan sengit. Ada sesuatu yang harus keluar dari kepala. Ada perasaan yang harus diungkapkan. Aku tak tahu apakah orang lain memahami yang kini kualami? Kepalaku seperti New York malam ini! Terus menderu tak kenal henti. Rasanya cemas, takut, sekaligus tertarik. Ya, ada sebuah mimpi lama terkubur jauh di dasar jiwa. Tentang luka dan irisan perasaan yang mengalir dalam nadiku. Otak ini menyuruhku maju tapi hati berkata cukup sampai di sini. perasaan ini terus menghantui meski berkali-kali pikiran buruk muncul di sana-sini. Bagaimana bila hasilnya jauh dari harapan? Bagaimana bila dunia mencibir dan mencelaku? Apakah aku siap? Namun, semangat optimisku juga tak mau padam begitu saja. Bagaimana kalau berhasil? Bagaimana bila sejuta ketakutanku hanyalah pikiran sesat semata? Bagaimana bila pesan yang ingin kusampaikan bergulung menjadi gelombang dahsyat, viral, menyebar ke seantero dunia, lalu masuk ke relung hati setiap insan manusia?
Di tengah dinginnya Kota New York yang mencapai suhu minus lima derajat Celsius, hujan salju mengalir deras menutupi permukaan jalan dan tanaman. Pohon-pohon cemara pun kini berubah seakan jadi patung-patung besi pencakar langit mini karena tertutup oleh tebalnya salju. Derasnya hujan salju membuat lalu-lalang orang tak seramai biasanya. Semua seakan ingin lelap di tempat perapian yang hangat. Sementara dengan perlahan, agar tak membangunkan suami tersayang, aku turun dari ranjang. Kutatap lekat-lekat kerutan-kerutan di wajahnya, tanda alami bahwa dia, dan tentunya juga aku, telah dimakan usia. Kerutan itu adalah bukti bahwa separuh jiwaku itu sudah lebih dari dua puluh tahun setia menemani, bagai malaikat tanpa sayap dengan hati penuh cinta yang diberikan Tuhan untuk melengkapi ketidaksempurnaanku. Dia juga yang selalu mendukung semua langkah dan mimpi-mimpiku.
Sosok perempuan tangguh yang lahir di Kota Medan lebih dari setengah abad lalu. Pembawaannya ceria, apa adanya, dan berjiwa sosial mengalir tulus dalam nadinya membuat banyak orang senang berteman dengannya.
Dibesarkan dalam keluarga mapan, tak membuat istilah manja ada dalam kamus hidupnya. Didikan hebat dari kedua orang tuanya membuat “belajar” dan “berjuang” telah menjadi sahabat Itha sejak kecil. Ia bahkan sudah paham sulitnya mencari sepeser uang karena sejak kecil selepas sekolah harus ikut berdagang membantu orang tuanya.
Sejak kecil, ia selalu memiliki banyak impian. Salah satu impiannya adalah bisa berkunjung ke Amerika. Sebuah negara adidaya yang sekarang tidak hanya berhasil dikunjungi, tetapi ia pun sudah bertahun-tahun menetap di Kota New York. Dengan semangat belajar dan berjuang yang tak pernah padam, Itha berhasil membangun jejaring networking dan karier yang terus meningkat dari masa ke masa hingga kini sukses dalam bisnis properti.
Kini, ia berbagi pada dunia lewat karya pertamanya, sebuah buku berisi kisah tentang impian, kesabaran, perjuangan, dan keyakinan. Sebuah kisah inspiratif yang menguatkan siapa pun pembacanya untuk tidak pernah menyerah, bangkit, dan terus mengejar impian!
Bagi kalian yang ingin berkorespondensi dengan penulis, bisa melalui:
Email: [email protected]
Instagram: tulisanitha
Facebook: Itha G. Schneider