Buku ini mengajak pembaca menelusuri akar terdalam dari apa yang selama ini kita kenal sebagai wahyu. Dengan menyorot kisah Atra Hasis — teks Mesopotamia kuno dari abad ke-17 SM — penulis menggali bagaimana narasi tentang penciptaan manusia, air bah, dan teguran ilahi pertama kali ditulis bukan dalam bentuk wahyu dari langit, melainkan sebagai refleksi dari tatanan sosial dan keresahan eksistensial manusia purba.
Melalui pendekatan dekonstruktif dan analitis, buku ini menunjukkan bahwa apa yang dianggap suci dan transenden dalam kitab-kitab kemudian, sebenarnya banyak meminjam bentuk, struktur, bahkan substansi dari narasi yang jauh lebih tua. Qur’an, Injil, dan Taurat — ketiganya memuat gema cerita Atra Hasis yang telah disesuaikan dengan konteks, ideologi, dan semangat zamannya masing-masing.
Bukan untuk menyangkal kekudusan, tetapi untuk memperluas pemahaman kita tentang bagaimana narasi lahir dan diwariskan, buku ini menolak pendekatan apologetik. Ia justru mengajak pembaca kembali pada sumber-sumber awal, dan mempertanyakan ulang: apakah wahyu benar-benar turun dari langit, atau justru muncul dari kedalaman kesadaran manusia yang gelisah dan tak puas pada jawaban dunia?
Dalam penutupnya, penulis kembali menyinggung Atra Hasis—bukan sebagai pembanding belaka, tapi sebagai cermin purba tempat manusia modern bisa melihat bahwa pencarian makna ternyata tak pernah benar-benar berubah. Ia hanya memakai nama Tuhan yang berbeda di setiap zaman.
Cukup panggil saya Agung webe. Saya adalah orang biasa yang menulis untuk membantu diri saya sendiri. Membantu menemukan kebajikan dan kesadaran untuk kehidupan yang saya jalani. Mari kita belajar bersama, berkembang dan tumbuh bersama
Email: [email protected]