Dia adalah sebuah halaman kosong. Sebuah misteri yang terbungkus dalam keluguan. Dan tiba-tiba, aku ingin menulis sesuatu di halaman itu. (Bab: Tamu Tak Terduga)

Untuk mangsa seperti ini, umpannya harus besar, berkilauan, dan mustahil untuk diabaikan. Aku butuh sebuah guncangan visual yang akan merobohkan pertahanannya yang rapuh dalam sekejap. (Bab: Umpan Dilempar)

***

Agus adalah seorang pemuda yang datang dari tanah yang masih basah oleh embun pagi. Ia membawa aroma sawah setelah hujan dan kepolosan yang begitu murni hingga nyaris menyakitkan untuk dilihat. Jakarta, dengan segala kebisingan dan cahayanya yang tak pernah padam, adalah sebuah planet asing baginya. Di balik tatapannya yang selalu menunduk dan tangannya yang kapalan, tersimpan mimpi-mimpi sederhana. Dia datang untuk mencari kerja, untuk mengubah nasib, sama sekali tidak menyadari bahwa takdir telah menyiapkan sebuah pelajaran yang jauh lebih rumit, sebuah ujian yang akan membakar habis keluguannya dalam api yang tidak pernah ia kenal.

Di salah satu menara beton yang menjulang di kota itu, hiduplah Suci. Namanya adalah sebuah ironi yang indah, sebuah selubung kesucian yang membungkus jiwa yang lapar. Di luar, ia adalah citra wanita karier yang mandiri dan terkendali, dunianya adalah pendingin ruangan, tenggat waktu, dan senyum yang terukur. Namun di dalam keheningan apartemennya yang steril, saat malam tiba, ada sebuah kekosongan yang berdenyut. Bukan kesedihan, melainkan sebuah dahaga purba akan sesuatu yang nyata, sesuatu yang buas, sesuatu yang bisa merobek fasad kesempurnaannya yang membosankan.

Lalu, takdir mempertemukan mereka. Sebuah kebetulan meninggalkan sang pemuda lugu dalam penjagaan sang wanita yang lapar, terkurung dalam empat dinding yang tiba-tiba terasa begitu sempit. Udara yang tadinya netral kini menjadi pekat, sarat dengan listrik dari dua dunia yang bertabrakan: kepolosan Agus yang gemetar dan keingintahuan Suci yang mengintai. Di mata Suci, Agus bukan lagi sekadar tamu adiknya; dia adalah sebuah kanvas kosong, sebuah permainan terlarang yang begitu menggoda untuk dimulai. Sebuah pertanyaan berbahaya mulai berbisik di benaknya: seberapa mudah sebuah kesucian bisa dinodai?

Maka dimulailah tiga hari yang gila itu. Sebuah babak rahasia yang tidak akan pernah tercatat di mana pun kecuali di kulit dan napas mereka. Di dalam apartemen itu, pelajaran tidak diberikan lewat kata-kata, melainkan lewat kehangatan yang merambat dari ujung jari. Batasan-batasan luruh bukan oleh paksaan, tapi oleh bisikan di tengah malam. Sang pemuda yang "ndeso" itu dipaksa untuk menari dalam ritme yang tidak ia kenal, sementara sang wanita yang bernama Suci dengan senang hati menanggalkan kesucian namanya, helai demi helai, bersamaan dengan pakaian yang jatuh ke lantai.

Ketika tiga hari itu berakhir dan kereta senja membawa Agus kembali ke dunianya, mereka berdua tidak lagi sama. Dia pergi bukan lagi sebagai seorang anak laki-laki, melainkan seorang pria yang kini membawa sebuah rahasia yang membakar. Dan Suci, ia tetap tinggal di kotanya, namun kekosongan di dalam dirinya kini telah terisi oleh gema dari sebuah kisah yang begitu liar dan intim. Mereka mungkin terpisah oleh jarak, namun kini terikat oleh sebuah benang tak terlihat, sebuah janji bisu dari rahasia gila yang hanya mereka berdua yang tahu.

Contents:

Prolog: Sepi di Tengah Jakarta—1

Tamu Tak Terduga—13

Umpan Dilempar—33

Rasa Pertama—47

Di Bawah Kendaliku—65

Meledakkan Keperjakaan—83

Dosa di Pagi Buta—109

Banjir di Kamar Mandi—133

Gairah di Ruang Keluarga—155

Malam Perpisahan—185

Epilog: Jejak Tiga Hari—205