Ia tidak merasa malu. Sebaliknya, ia merasa seperti sedang dipersembahkan. Ia adalah sebuah karya seni yang siap untuk dikagumi... Ia berada di pusat alam semesta hasrat ini, dan rasanya begitu kuat. (Altar Pemujaan)
Menyaksikan Shintaku—Shinta milik bersama—terbakar oleh hasrat mereka, menjadi bahan bakar bagi apinya sendiri. Ia adalah sutradara sekaligus korban dari pertunjukannya sendiri, tenggelam dalam kenikmatan menyakitkan dari fantasi yang menjadi kenyataan. (Fajar dan Refleksi)
***
Bagi Simon, membawa Shinta—kekasihnya yang baru empat bulan—ke Vila Kenikmatan adalah pertaruhan paling egois sekaligus paling jujur yang pernah ia lakukan. Di balik tatapan penuh cinta dan janji-janji manis, ia menyimpan sebuah fantasi gelap: sebuah hasrat membara untuk menyaksikan wanitanya tidak hanya diinginkan, tetapi juga dinikmati oleh orang lain. Ia tidak tahu bahwa dengan membuka pintu terlarang itu, ia tidak hanya akan menguji cinta mereka, tetapi juga melepaskan sisi lain dari Shinta yang tidak pernah ia duga ada; sisi yang jauh lebih liar dan lebih lapar dari fantasinya sendiri.
Di dalam surga tersembunyi itu, Shinta menemukan bahwa dirinya bukanlah sekadar pengikut yang ragu-ragu. Saat tatapan-tatapan lapar mulai menelanjanginya dan sentuhan-sentuhan asing mulai menjelajahi kulitnya, ia tidak menemukan rasa takut, melainkan sebuah kekuatan yang memabukkan. Ia sadar, tubuhnya bisa menjadi sebuah altar, dan kenikmatannya bisa menjadi sebuah persembahan. Setiap desahan yang keluar dari bibirnya, setiap tetes lendir yang membasahi vaginanya di bawah belaian tangan dan mulut yang bukan milik Simon, bukanlah sebuah pengkhianatan, melainkan sebuah pertunjukan yang ia persembahkan hanya untuk satu penonton: kekasihnya yang mengamati dari sudut ruangan.
Dan Simon, ia menikmati setiap detiknya. Dari balik matanya yang terpaku, ia melahap pemandangan itu. Ia merasakan setiap sentuhan di kulit Shinta seolah itu terjadi pada kulitnya sendiri. Ia merasakan sengatan cemburu yang anehnya justru menjadi pemicu gairah, membuat kontol di dalam celananya menegang keras hingga terasa sakit. Menyaksikan Shintaku—Shinta miliknya—terbakar oleh hasrat mereka, menjadi bahan bakar bagi apinya sendiri. Ia adalah sutradara sekaligus korban dari pertunjukannya sendiri, tenggelam dalam kenikmatan menyakitkan dari fantasi yang menjadi kenyataan.
Di dalam Ruang Merah yang berdenyut seperti jantung, di atas lautan satin dan di bawah cahaya yang memerah, tubuh Shinta menjadi pusat dari segalanya. Ia tidak lagi bisa membedakan tangan siapa yang meremas payudaranya atau mulut siapa yang sedang memuja memeknya yang basah. Ia adalah kanvas bagi hasrat kolektif, sebuah pulau kecil yang dihantam gelombang kenikmatan dari segala arah. Dan di puncak badai itu, saat jeritan orgasmenya merobek udara, matanya hanya mencari satu orang. Ia mencari Simon, memastikan kekasihnya itu melihatnya, menikmati persembahannya hingga tuntas.
Ketika sebuah ikatan tidak lagi hanya diuji oleh kesetiaan, melainkan oleh izin untuk saling berbagi kenikmatan paling tabu, apakah itu akan menghancurkan mereka? Atau justru, dalam api hasrat yang membakar itu, mereka menemukan sebuah level cinta baru yang lebih kuat, lebih dalam, dan jauh lebih berbahaya dari yang pernah mereka bayangkan?
Contents:
Antisipasi di Ambang Gerbang—1
Kontrak Kenikmatan—19
Panggung di Tepi Jurang—41
Ujian di Bawah Pancuran—63
Altar Pemujaan—81
Lautan Hasrat di Ruang Merah—103
Fajar dan Refleksi—123
Gerbang Keluar—147